Minggu, 14 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness
Hujan di Bulan Januari #2


Baiklah, aku harus segera pergi. Mungkin senyuman pria yang tampilannya kayak preman di sana hanya untuk bersikap ramah, seperti yang semua orang di kampung ini lakukan.
Pada akhirnya, ayah tidak berhasil kutemukan. Kurasa aku harus menyerah. Kuputuskan untuk pergi ke luar—masih seperti tadi tanya sana-sini—sialnya masih sulit kutemukan juga jalan ke luarnya. Mereka hanya memberitahuku harus belok ke kiri, belok ke kanan, lurus terus, tetapi setelah 20 menit aku berjalan masih belum juga kutemukan. Aku tahu mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, jadi akan susah untukku ke luar. Sial!
Aku haus. Nahasnya, aku tidak punya uang satu peser pun. Kalau gini caranya mending aku menolak ajakan ayah untuk pergi ke pasar. Aku marah. Nafasku memburu karena marah dan capek. Aku ingin menonjok seseorang. Aku memang payah dalam menghafal jalan. Di Jakarta saja untuk mengingat di mana letak rumah Aura harus 10 kali balikan supaya aku ingat. Apalagi kalau di pasar!? What the fuck! Cabangnya banyak sekali, jalannya sempit sekali dan baunya? Jangan tanya!
"Haus?" kata seseorang sambil menyodorkan satu kantung es kelapa.
"Iya haus. Makasih, bang," kataku. Setelah kulihat wajahnya aku terlonjak kaget kayak anak perempuan yang hendak diperkosa oleh sekumpulan aki-aki. Demi apapun, aku ingin pergi sekarang juga! Pria sangar itu, kini ada di hadapanku! Baiklah aku harus tenang. Semua orang di kampung ini ramah, jadi mana mungkin mereka tega menyakitiku? "Kok nggak di minum?"
Tubuhku makin kikuk ketika dia tersenyum dengan mata seakan hendak menelanjangiku. "Eh i-iya, bang." Aku minun es kelapa pemberiannya lalu tersenyum canggung. Gila, aku takut banget.
"Pasti bukan asli orang sini ya?" katanya sambil mengeluarkan rokok. Dia sulut rokok di jarinya kemudian menawariku benda jahanam itu. Aku memang tidak suka merokok dan orang perokok soalnya asapnya bisa membuat nafasku sedikit sesak. Kepalaku menggeleng untuk menolak pemberiannya
"Iya, bang. Kok bisa tahu?"
Dia malah tertawa renyah. Suaranya yang ngebass dan laki banget terdengar seram di telingaku. "Jelas, lah. Kamu beda sama orang-orang di sini. Kalau dilihat-lihat juga, kamu bukan asli warga pribumi. Mungkin darah campuran kamu diwarisi oleh salah satu dari kedua orang tuamu."
Benarkah? Kurasa memang benar. Ayah yang melahirkanku mempunyai mata hijau kecoklatan meskipun wajahnya tidak seperti bule. Tipe-tipe wajah ayah sama seperti negara jiran, mubgkin Bunei, mungkin juga Thailand. Entahlah aku tak sempat menanyakan itu semua.
"Mungkin."
Pria sangar ini menyesap rokoknya kemudian dia hembuskan ke mukaku. Aku batuk-batuk. Sejurus kemudian mukaku memerah karena marah! Dasar tidak sopan! Tetapi apa yang harus aku lakukan? Rasanya marah pun percuma karena aku takut sama badan dan pembawaannya.
"Mukamu memerah," katanya sambil tertawa. "Siapa namamu?" tanyanya. Haruskah kujawab? Tidak. Aku tak akan menjawabnya. Kakiku melangkah pergi, namun sialnya terhenti ketika dia berucap, "Si-a-pa na-ma ka-mu!" Penuh penekanan, penuh maksud terselubung, seakan dia adalah raja dan aku selirnya—maksudku budaknya.
Aku menciut. "Aku Grey." Aku pun pergi.
"Abu-abu." Dasar orang aneh. "Tertarik pergi ke tempatku?" Memangnya siapa orang waras yang ingin pergi ke sarang buaya?
Syukurlah ketika kakiku memasuki distrik mainan anak kecil, kulihat dari kejauhan aku melihat Reno sedang lari menuju ke arahku. "Kamu teh apa-apaan sih! Bikin khawatir saja! Kamu tahu ayah kamu sampe panik nyariin kamu. Kalau mau pergi bilang dong! Tapi kamu nggak papa kan? Ada luka? Tuh keringat kamu banyak banget kamu habis apa hah? Grey! Dengerin kalau saya lagi ngomong! Gimana kalau kamu diculik  terus diperkosa! Tu-tunggu dengerin saya!"
Aku terus berjalan ke depan. Rentetan pertanyaan Reno membuatku kesal. Ini kan tempat umum, banyak orang yang lihat, jadi aku malu! Huh, ternyata Reno bisa bersikap menyebalkan juga. Tu-tunggu, dia memang menyebalkan dari sananya!
Fuck.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -